Monday, January 6, 2014
Tujuan Serta Orientasi Hidup Manusia - Makalah Filsafat Pendidikan Islam
6:02 PM | Diposkan oleh
Unknown
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah
makhluk unik dan penuh misteri, yang tidak pernah habis menjadi objek kajian
dan penelitian. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah mendefinisikan manusia
sesuai dengan sudut pandang keilmuan masing-masing. Ada yang mendefinisikan
sebagai homo sapiens (makhluk yang memiliki akal budi), homo luquen (makhluk
yang mampu menciptakan bahasa), homo faber (makhluk hidup yang bisa membuat
alat perkakas), zoon politikon (makhluk sosial/ bermasyarakat), homo luden
(makhluk yang suka main), homo deleqaus (makhluk yang bisa menyerahkan kerja
dan kekuasaannya pada orang lain), dan ada pula yang mengatakan animal
rationale atau hayawan nathiq (binatang yang berfikir), serta julukan-julukan
lainnya.
Hal ihwal
manusia ini ternyata juga banyak dibahas dalam Al-Qur’an. Ada beberapa istilah
yang muncul dalam Al-Qur’an, yaitu basyar (35 kali dalam bentuk mufrod dan
sekali dalam bentuk mustasna), al-ins (18 kali), al-insan (65 kali), an-naas
(240 kali), bani adam ( 7 kali), dan dzuriyah adam (1 kali). Ini menujukkakan
bahwa manusia memang makhluk yang penuh misteri. Beberapa penamaan manusia
diatas tentunya memiliki makna yang berbeda, hal ini bisa dilihat dari
diletakkannya nama-nama itu dalam konteks ayat yang berbeda. Penggunaan nama
pada konteks ayat yang berbeda itu berarti pula bahwa manusia memiliki
kecenderungan tertentu, kecenderungan taat maupun kecenderungan sesat.
Namun dalam
makalah singkat ini pemakalah tidak hendak mengupas perbedaan makna tersebut,
akan tetapi makalah ini akan membahas tentang tujuan serta orientasi hidup
manusia. Secara umum, makalah ini akan menjawab pertanyaan tentang; darimana
datangnya manusia, untuk apa manusia diciptakan, dan kemana manusia akan
menuju?
B.
Rumusan Masalah
-
Darimana
datangnya manusia ?
-
Untuk
apa manusia diciptakan ?
-
Kemana
manusia akan menuju ?
C.
Tujuan Penulisan
-
Mengetahui
darimana manusia datang.
-
Mengetahui
untuk apa manusia diciptakan.
-
Mengetahui
arah tujuan hidup manusia.
PEMBAHASAN
A.
Tipologi manusia
Secara umum,
banyak cabang ilmu yang membahas tentang manusia, ada yang memandang manusia
dari segi fisik (Antropologi Fisik), ada yang memandang manusia dari segi
budaya (Antropologi Budaya), ada yang memandang manusia dari segi “ada” nya
atau dari segi “hakikat” nya (Antropologi Filsafat), dan ada pula yang memahami
hakikat manusia dari sudut pandang agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Inilah yang menyebabkan orang-orang tak henti-hentinya berusaha
mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan mendasar manusia, yaitu Apa,
dari mana, dan kemana manusia itu?
1.
Manusia dalam pandangan antropologi fisik dan budaya
Para ahli
memberikan sebutan kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan
manusia di bumi ini;
a)
Manusia
adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b)
Manusia
adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c)
Manusia
adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d)
Manusia
adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas
atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat,
e)
Manusia
adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan
orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
f)
Manusia
adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip
ekonomi dan bersifat ekonomis.
2.
Manusia dilihat dari segi antropologi filsafat (Sudut pandang
jasmani dan rohani)
Setidaknya ada
4 aliran jika kita mengkaji manusia dari sudut pandang filsafat (aspek jasmani
dan rohani), yaitu :
a)
Aliran
serba zat; aliran ini mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah
zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari segala sesuatu. Alam ini
adalah zat, dan manusia adalah unsur dari alam. Oleh karenanya, hakikat dari
manusia itu adalah zat atau materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat
materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi.
Maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis.[1]
b)
Aliran
serba ruh; aliran ini berpendapat bahwa hakikat sesuatu yang ada di dunia ini
adalah “ruh”, termasuk juga manusia. Adapun zat merupakan manifestasi dari ruh
di atas dunia ini. Materi hanyalah penjelmaan ruh.[2]
Pendapat ini sejalan dengan pendapatnya Al Ghazali yang menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu
al-nafs (substansi yang berdiri sendiri dan tidak bertempat). Al-nafs merupakan
tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) berasal dari alam
al-malakut.[3]
Ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan pada fisiknya, sebab fisik adalah
sesuatu yang mempunyai tempat. Sehingga dasar pikiran dari aliran ini adalah
bahwa ruh itu lebih berharga dan lebih tinggi nilainya dibandingkan materi.
c)
Aliran
dualisme (gabungan antara ruh dan zat); aliran ini mencoba untuk mengawinkan
dua pendapat di atas. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu pada hakikatnya
terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua
substansi ini merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Jadi badan tidak berasal dari ruh, dan ruh juga tidak berasal dari badan. Namun
dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang keduanya
berintegrasi membentuk yang disebut manusia.[4]
d)
Aliran
eksistesialisme; sedangkan aliran ini berpendapat bahwa inti hakikat manusia
adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian, aliran
ini memandang manusia tidak dari segi ruh maupun jasad, tetapi memandangnya
dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri
di dunia.[5]
3.
Manusia menurut sudut pandang antropologi dan metafisika
Dari segi
antropologi terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia, yaitu manusia sebagai
makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila.
a)
Manusia
Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Disadari atau
tidak menusia sering memperlihatkan dirinya sebagai makhluk individu, seperti
ketika mereka memaksakan kehendaknya (egoisme), memecahkan masalahnya sendiri,
percaya diri, dan lain-lain. Menjadi seorang individu manusia mempunyai ciri
khasnya masing-masing. Antara manusia satu dengan yang lain berbeda-beda,
bahkan orang yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia di dunia ini yang
benar-benar sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian tidak.
b)
Manusia
Sebagai Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita
ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan
manusia lain agar bisa tetap exsis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya
manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial. Keberadaanya tergantung
oleh manusia lain. Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran
manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana
tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu.
c)
Manusia
Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan
bahwa manusia sebagai makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi
nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Asas
kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan
manusia dari pada hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi
nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu.
4.
Manusia dalam pandangan islam
Dalam Al-Qur’an
ada beberapa istilah untuk menyebut manusia, yaitu basyar (35 kali dalam bentuk
mufrod dan sekali dalam bentuk mustasna), al-ins (18 kali), al-insan (65 kali),
an-naas (240 kali), bani adam ( 7 kali), dan dzuriyah adam (1 kali).[6] Masing-masing istilah tersebut memilki makna
yang berbeda.
a)
Basyar.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan
sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang
berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda
dengan kulit binatang yang lain. Kata basyar ini menunjuk pada manusia sebagai
makhluk biologis yang memerlukan makanan, minuman, udara, dan melakukan
aktifitas fisik sama seperti makhluk-makhluk hidup lainnya (Q.S. Al-Mukminuun
23 : 33, Q.S. Hud 11 : 27, Q.S. Al-Hijr 15 : 33, Q.S. Al-Kahfi 18 : 110, dsb).
b)
Al-Ins.
Kata ini digunakan untuk menunjuk sifat manusia sebagai makhluk yang jinak atau
beradab, tidak liar dan tidak biadab, kebalikan dari sifat jin sebagai makhluk
metafisik yang bersifat liar dan bebas karena tidak mengenal ruang dan waktu.
Itulah barangkali rahasia kenapa kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan
kata al-jin sebagai lawannya. (Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56, Q.S Al-Isra’ 17 : 88,
Q.S Al-Jin 72 : 6, dsb)
c)
Al-Insan.
Sekalipun kata ini memiliki akar kata yang sama dengan al-ins, tetapi dari segi
makna penggunaan kata al-insan menunjuk kepada manusia sebagai makhluk yang
layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul akibat-akibat taklif serta
memikul amanah, sebab dia mendapat keistimewaan mempunyai akal dan kemampuan
berfikir, pandai berbicara, dan oleh karenanya memiliki kemampuan untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. (Q.S. Al-‘Alaq 96 : 1-8)
d)
Bani
dan Dzuriyyah Adam. Kata ini digunakan juga untuk manusia yang merujuk pada
nama manusia pertama diciptakan oleh Allah SWT, yaitu Nabi Adam as. (Q.S.
Al-A’raf 7 : 31, Q.S. Maryam 19 : 58)
e)
An-Naas.
Kata ini adalah kata keseluruhan yang menunjukkan bahwa manusia itu sebagai
basyar, al-ins, al-insan, bani dan dzuriyah adam. (Q.S. Al-Hujarat 49 : 13)[7]
Itulah tipologi
manusia ditinjau dari berbagai aspeknya. Masing-masing cabang keilmuan memahami
manusia dengan cara yang berbeda sesuai dengan sudut pandang keilmuannya. Namun
pada prinsipnya, manusia diciptakan oleh Tuhan tidak dengan kesia-siaan.
Manusia dianugerahi oleh Tuhan berupa akal dengan tujuan agar mereka memahami
diri dan sekitarnya dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi. Dengan akal itu pula, manusia bisa berkreasi secara dinamis dalam
menjalani kehidupannya, memilih jalannya, dan membangun masa depannya. Itulah
jalan kebebasan yang diberikan Tuhan, manusia tinggal memilih, jalan taat, atau
jalan sesat.
B.
Hakikat dan tujuan penciptaan manusia
Ada teori besar
yang pernah diperkenalkan oleh Charles Darwin tentang asal muasal manusia.
Teori itu mengatakan bahwa manusia pada mulanya adalah kera yang kemudian
ber-evolusi melalui perubahan-perubahan mekanis yang pada akhirnya berubah
menjadi manusia sempurna seperti kita.
Munculnya teori
ini sangat menyinggung kaum agamawan pada waktu itu, dan bahkan sampai saat
ini. Berbagai argumen pun bermunculan untuk meruntuhkan teori tersebut.
Terlepas dari benar atau salahnya teori itu, sebagai seorang muslim, perlu
kiranya kita memahami asal usul manusia dengan merujuk pada sumber utama kita,
yaitu Al-Qur’an, sekaligus memperbandingkan apakah teori dari Darwin tersebut
sejalan dengan Al-Qur’an atau justru bertentangan.
Dalam Al-Qur’an
sangat jelas bahwa manusia pada mulanya tidak seperti yang dikatakan oleh
Darwin melalui teorinya. Akan tetapi manusia pertama (Nabi Adam as) adalah
salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sempurna, atau dalam bahasa
Qur’an dikatakan ahsani taqwiim. Ahsani taqwim ini menunjukkan bahwa manusia
memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain, baik itu hewan,
jin, maupun malaikat. Secara lebih rinci Al-Qur’an telah menjelaskan
tentang penciptaan manusia, hal tersebut
dapat dikategorikan dalam 4 cara, (1) diciptakan dari tanah (penciptaan nabi
adam) : Q.S. Al-Hijr 15 : 26, (2) Diciptakan dari tulang rusuk (penciptaan
hawa) : Q.S. An-Nisa’ 4 : 1, (3) diciptakan melalui seorang ibu melalui proses
kehamilan tanpa ayah/ tanpa proses biologis (penciptaan nabi isa as) : Q.S.
Maryam 19 : 16-22), dan (4) diciptakan
melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis (penciptaan manusia selain
adam, hawa, dan isa) : Q.S. Al-Mu’minuun 23 : 12-14.[8]
Lalu apa tujuan
diciptakannya manusia?
Allah
menciptakan manusia, tidak dengan kesia-siaan. “Maka apakah kamu mengira bahwa
Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?” [Al-Mu’minun: 115]. Atau tidaklah manusia diciptakan
sebatas untuk menikmati kehidupan dunia dan segala keindahannya. Pada
hakekatnya Allah menciptkan manusia tujuannya adalah :
1.
Untuk beribadah kepada-NYA
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Artinya : “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”,
(Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56).[9]
Harus
ditekankan disini, bahwa menyembah dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan
sebagai upacara ritual-seremonial (religious system) yang umum kita pahami,
namun ibadah disini dipahami secara umum, jauh lebih luas dari pemaknaan itu,
yaitu aktifitas mendekatkan diri kepada Allah dengan segala cara yang
dibenarkan oleh Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) dalam semua aspek kehidupan.[10]
2.
Untuk menjadi khalifah di bumi
Sebagaimana
firman Allah kepada para malaikat tatkala akan menciptakan manusia:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً ......
Artinya : “
Ingatlah, ketika Tuhanmua berkata kepada para malaikat, Aku akan menciptakan
khalifah di atas bumi”, (Q.S. Al-Baqarah 2 : 31).
Secara
etimologis, khalifah berarti pengganti atau yang mewakili. Jika Umar bin
Khattab disebut Khalifah dalam memimpin negara, maka manusia adalah makhluk
yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola bumi ini atas nama Allah. Semula
para malaikat mengira bahwa, tugas adam dan anak cucunya hanyalah beribadah
kepada Allah dalam arti sempit, seperti bertasbih dan memuji-Nya. Oleh sebab
itu malaikat bertanya, apakah tidak cukup kami (malaikat) yang senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah. Tetapi rupanya Allah menginginkan
manusia tidak hanya beribadah dalam arti sempit, tetapi juga beribadah dalam
arti seluas-luasnya yang dalam ayat ini disebut sebagai Khalifah.
Dengan
demikian, tugas kekhalifahan manusia belum terlaksana manakala manusia hanya
sekedar melakukan ibadah dalam arti sempit (ritual-seremonial), namun manusia
dituntut juga untuk mengelola secara dinamis dan kreatif kehidupan di atas
permukaan bumi ini.
3.
Untuk menyeru kepada sesama tentang kebaikan
Tujuan lain
dari penciptaan manusia adalah untuk menyeru kepada sesama dalam kebaikan dan
mencegah perbuatan mungkar (amar ma’ruf dan nahi munkar). “Kamu (umat Islam)
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka. Diantara
mereka ada yang beriman, namun kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang
fasik.” [Ali Imran: 110]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia juga mengemban
tugas untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar.
4.
Dambaan manusia yang benar adalah kebaikan di dunia dan akhirat
Allah SWT
berfirman dalam Q.S. Al- Baqarah 200-201 :
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ
أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠)وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ (٢٠١)
Artinya : “
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di
dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka".
5.
Ridho Allah harus menjadi tujuan hidup manusia
Allah SWT
berfirman dalam Q.S. At-Taubah : 100
وَالسَّابِقُونَ
الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(١٠٠)
Artinya :
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”[11]
Dengan
demikian, tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk mengabdikan dirinya
kepada sang pencipta. Yaitu pengabdian yang tulus tanpa ada tendensi apapun
selain hanya ingin mendapat ridho-Nya. Seperti halnya ayat yang sering kita
baca, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semuanya adalah
untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Karena kita adalah milik Allah dan akan
kembali kepada Allah.
C.
Fitrah manusia
Allah
menciptakan umat manusia dengan fitrah bertuhan. Tidak ada manusia yang lahir
tidak bertuhan, semuanya dilahirkan dalam keadaan mengakui adanya Tuhan. Secara
metaforis Allah menggambarkan bahwa setiap manusia sudah memberikan kesaksian
sejak alam rahim bahwa Allah adalah Tuhannya. Hal itu dinukil oleh Allah dalam
firman-Nya :
“Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankan Aku
ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaaan Tuhan)”. (Q.S. Al-A’raf 7 : 172)
Menurut ibnu
Katsir, ayat ini menjelaskan bahwa setiap manusia anak cucu adam telah
memberikan kesaksian sebelum mereka dilahirkan bahwa Allah adalah Rabb mereka,
Malik dan Ilah-nya, tidak ada Ilah melainkan Allah semata (Mukhtashar Tafsir
Ibn Katsir). Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk
tetap berada dalam fitrah Tauhid tersebut dengan cara mengikuti agama Allah
yang lurus (Islam).[12]
Fitrah bertuhan
itu hanyalah potensi dasar yang harus dipelihara dan dikembangkan. Kedua
orangtualah yang berkewajiban untuk memelihara dan mengembangkannya sehingga
setelah dewasa nanti anaknya tetap menjadi Muslim. Dalam konteks ini Rasulullah
bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah
(yang berperan) merobah anak itu menjadi seorang yahudi, nasrani, atau majusi”.
(HR. Bukhari Muslim)
Dalam sebuah
riwayat, abu Hurairah merekomendasikan hadits tersebut agar dikaitkan dengan
Q.S. Ar-Rium 30 :30 :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
Fitrah dengan
arti pembawaan dapat berarti islam, dan beriman-tauhid sesuai sabda nabi Nabi
Muhammad SAW kepada sahabat Barra’ ibn ‘Azib setelah beliau mengajarkan doa
menjelang tidur, beliau lalu memberi penjelasan yang maksudnya, bila ‘Azib
kemudian meninggal setelah mengucapkan doa itu, maka dia meninggal dalam
keadaan fitrah, maksudnya dalam keadaan iman,
bertauhid, dan Islam.[13]
Kemudian dalam
riwayat lain diceritakan, bahwa Al-Aswad ibn Sari’ dari bani Sa’ad –yang
mengikuti 4 peperangan bersama Rasulullah- bahwa dalam suatu peperangan pasukan
islam membunuh anak-anak setelah membunuh pasukan musuh. Tatkala berita itu sampai pada Rasulullah,
beliau sangat marah dan menegur dengan keras : “Kenapa mereka membunuh
anak-anak?” salah seorang memberikan jawaban : “ Ya Rasulullah, bukankah mereka
itu anak-anak kaum musrikin?” Rasulullah menjawab : “Yang terbaik diantara
kalian pun juga anak-anak kaum musrikin. Ketauhilah bahwa tidaklah seorang pun
dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan Fitrah. Dia akan tetap dalam
fitrahnya itu sampai lisannya sendiri merobahnya. Maka kedua orangtuanyalah
yang meyahudikan dan menashranikannya. (HR. Ibn Jarir)[14]
D.
Pendidikan manusia adalah mengarahkan fitrahnya
Untuk mencapai
kualitas seperti yang diinginkan Allah itu diperlukan pendidikan terus menerus
dari ayunan sampai liang lahat. Pendidikan manusia haruslah dapat menyentuh
unsur-unsur manusia secara seimbang dan harmonis, yaitu unsur emosional,
spiritual, dan intelektual.
Tiga kecerdasan
tersebut mengandung hubungan unity is diversity-diversity is unity, artinya,
masing-masing kecerdasan tersebut adalah kecerdasan yang berbeda, namun pada
keberbedaannya mengandung hubungan yang integratif-holistik, semua saling
terkait.
Integralisasi
tiga kecerdasan tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh, karena jika
hanya fokus pada salah satu diantara ketiganya, maka akan banyak ketimpangan
terjadi dalam masyarakat kita. Penulis menemukan banyak fakta menarik disekitar
kita kaitannya dengan ketimpangan itu. Misalnya, ada banyak ahli ibadah namun tidak memiliki semangat thalabul ‘ilmi.
Banyak orang yang cerdas, pintar, dan berpengetahuan, namun korupsi. Banyak
orang yang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kesenjangan sosial, namun
tidak pernah shalat, dan lain sebagainya. Singkatnya, dalam pendidikan telah
terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan
maupun keagamaan.
Dalam hal ini
Amin Abdullah pernah menulis pada salah satu artikelnya, pola pikir yang serba bipolar-dikotomis menjadikan
manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing dari
dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing
dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya, serta
terasing dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya sekitarnya.[15]
Al-Qur’an yang turun ribuan tahun lalu bahkan
telah memberikan konsep yang bagus tentang ketiga kecerdasan tersebut. Mari
kita lihat Surat Ali ‘Imron ayat 190-191, yang artinya, “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya Tuhan kami tidaklah
engkau menciptakan semua ini sia-sia; maha suci engkau; lindungilah kami dari
adzab neraka.”
Untuk
mengetahui makna ulul albab, hendaknya kita memahami kata ulul-albab dalam
setiap konteks ayat yang memunculkan kata itu. Kata Ulul-albab disebut enam
belas kali dalam Al-Qur’an. Secara ringkas, makna ulul albab adalah kelompok
manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT, dan di antara keistimewaannya
ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan, disamping
pengetahuan yang diperoleh secara empiris.
Ayat di atas
(Q.S. Ali ‘Imron : 190-191) mengandung makna bahwa karakter ulul albab adalah
(1) orang-orang yang selalu ingat kepada Allah meskipun dalam keadaan berdiri,
duduk, dan berbaring, (2) orang-orang yang selalu memikirkan realitas alam dan
sosial disekitarnya, (3) aktifitas dzikir dan fikir tersebut pada akhirnya
bermuara pada ketakjuban hamba kepada sang pencipta, Allah SWT.
Rektor UIN
Malang, Imam Suprayogo, pernah juga menuliskan bahwa, sebagai seseorang yang
menyandang Ulul Albab, ia adalah sekaligus sebagai seorang ilmuwan, atau ulama
sejati. Ia selalu bertanya tentang ciptaan Allah yang dahsyat, yaitu alam dan
jagad raya ini. Tidak henti-hentinya ia bertanya tentang apa, dari mana dan
kemana semua ciptaan ini. Segala yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan
sempurna dan tidak ada yang sia-sia. Pergumulan dan penjelajahan pemikirannya,
sebagai seorang penyandang Ulul Albab, akan melahirkan sifat-sifat mulia, yaitu
bersyukur, sabar, ikhlas, tawadhu, tawakkal, istiqomah, dan selalu berserah
diri hanya pada Allah swt.
Selain
ulul-albab, islam juga mengenal konsep “manusia sempurna”, kesempurnaan
manusialah yang membedakan dengan makhluk lainnya. Pada dasarnya makhluk lain
selain manusia juga memiliki unsur kesempurnaan, namun kesempurnaan pada
itingkat masing-masing. Jika malaikat diciptakan dengan unsur kesucian tanpa
adanya aspek keduniawiaan (nafsu, marah, dengki, dsb), sedangkan hewan
sebaliknya, sepenuhnya duniawi dan dan tidak mempunya apa yang oleh Al-Qur’an
disebut ruh ilahi. Namun manusia adalah paduan keduanya, kemalaikatan sekaligus
keduniaan, tinggi sekaligus rendah.[16]
Makanya dalam Al-Quran juga disebut bahwa manusia selain bisa memiliki derajad
ahsani taqwim, ia juga bisa turun dalam derajat asfalasaafiliin. Ini yang harus
disadari oleh para pendidik bahwa potensi baik manusia ini harus dikembangkan
dengan cara yang baik pula, jangan sampai sifat kehewanannya yang mendominasi
kelakuannya.
Begitulah seharusnya pendidikan
membentuk karakter seseorang. Membentuk pribadi yang memiliki kepekaan
intelektual, yaitu kepekaan untuk selalu menggali dan memahami rahasia Allah di
balik semua fenomena; fenomena alam semesta, fenomena sosial-historis, kemajuan
teknologi, dan fenomena-fenomena lainnya. Dari aspek spiritualitas, menyadarkan seseorang bahwa ada kekuatan yang
maha dahsyat yang harus selalu diingat dalam kondisi apapun, baik suka maupun
duka, berlimpah rizki maupun kesulitan rizki, lapang maupun sempit, sehat
maupun sakit, dan lain sebagainya, sehingga orang tersebut memiliki komitmen yang
tinggi terhadap agama islam. Dan muara dari pendidikan seperti itu adalah
bertambahnya keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT seraya
mengatakan, “maha suci engkau; lindungilah kami dari adzab neraka.” Barangkali
inilah yang disebut pendidikan yang sejalan dengan fitrah Ilahiyah atau fitrah
Islam. wallahu a’lam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Pembahasan
tentang manusia memang sangat menarik, karena selain sebagai subjek dalam
berbagai hal di muka bumi ini, manusia juga menjadi objek kajian oleh dirinya
sendiri. Terbukti sampai sekarang manusia belum menemukan hakikat tentang
dirinya secara memuaskan. Oleh sebab itu melalui pembahasan singkat di atas
setidaknya kita mengetahui tentang tipologi manusia, tujuan penciptaan manusia,
dan kemana orientasi pendidikan dalam mengarahkan manusia.
Pada
prinsipnya, Tuhan tidak bermain-main dalam menciptakan makhluk-Nya (termasuk
manusia). Tujuan penciptaan manusia ini sudah dituliskan oleh-Nya dalam
kitab-Nya yang agung. Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa tujuan penciptaan
manusia tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengabdi kepada-Nya dalam arti
yang seluas-luasnya. Bukan hanya sekedar pengabdian yang sifatnya
ritual-seremonial. Tapi pengabdian yang mencakup seluruh aspek kehidupan,
selama bukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya.
Selain itu
manusia juga dibekali fitrah ketuhanan oleh Allah, artinya, pada dasarnya semua
manusia memiliki perjanjian untuk pengabdian kepada-Nya. Fitrah itulah yang
harus diarahkan dalam pendidikan. Sehingga pendidikan seharusnya bermuara pada
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Itulah yang menurut saya puncak pencapaian
pendidikan islam yang paripurna. Wallahua’lam wahua almusta’an.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Jannan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam
(Tinjauan Filosofi), Suka Press : Yogyakarta.
Departemen Agama, Al-Qur’anul Karim (Syamilul Qur’an), PT. Sygma
Examedia Arkanleema : Bandung.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi
dan Pendidikan), PT Alhusna Zikra : Jakarta.
Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna (Pandangan Islam tentang
Hakikat Manusia), (Jakarta : Penerbit Lentera, 1994).
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghozali, Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 1999.
Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press:
Yogyakarta, 2007.
Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1995.
[1]
Dra. Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1995, hal. 71
[2]
Ibid, Hal. 72
[3]
Dr. Muhammad
Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghozali, Raja Grafindo Persada: Jakarta,
1999, Hal. 73
[4]
Prof.
Jalaluddin & Prof. Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat,
dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, hal. 130
[5]
Dra. Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1995, hal. 73-74
[6]
Dr. Yunahar
Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta, 2007, Hal.
1
[7]
Dr. Yunahar
Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta, 2007, Hal.
1-6
[8]
Dr. Yunahar
Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta, 2007, Hal.
7-13
[9]
Departemen
Agama, Al-Qur’anul Karim (Syamilul Qur’an), PT. Sygma Examedia Arkanleema :
Bandung.
[10]
Prof. Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan), PT
Alhusna Zikra : Jakarta, Hal. 4.
[11]
Ahmad Jannan
Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofi), Suka
Press : Yogyakarta, Hal. 48-49
[12]
Dr. Yunahar
Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta, 2007, Hal.
18
[13]
Muhammad Aliy
Ash-Shabuny, dikutib oleh Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar
Pendidikan Islam (Tibjauab Filosofis), (Yogyakarta : SU-KA Press, 2009), Hal. 47.
[14]
Muhammad Aliy
Ash-Shabuny, dikutib oleh Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar
Pendidikan Islam (Tibjauab Filosofis), (Yogyakarta : SU-KA Press, 2009), Hal.
20
[15]
Makalah Prof.
Dr. Amin Abdullah. MA. Ph. D dengan judul, “ Etika Tauhidik Sebagai Dasar
Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma
Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik) )”, dalam
buku Strategi Pendidikan Upaya Memahami
Wahyu dan Ilmu.
[16]
Murtadha
Muthahhari, Manusia Sempurna (Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia),
(Jakarta : Penerbit Lentera, 1994), cet. 2, Hal.11.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
100 Artikel Terbaru
Buku Tamu
Facebook Page
Total Page Views
Popular Post
-
Untuk teman yang suka desain kaos, sekarang gak perlu ribet lagi. Ada aplikasi untuk komputer kamu yang fungsinya untuk menbuat design ka...
-
Ditahun 2013 ini nampaknya perkembangan Line di Indonesia lumayan bersaing, khusus di Play Store posisinya selalu di lima besar, kalau ...
-
Ada teman saya yang tanya. Begini percakapannya: Temen : "Bro, cara mengganti password hp gimana sih ?" (sambil nunjukin hp...
-
Mungkin selama ini jika agan ngetik huruf arab pada HP Samsung Galaxy Young S5360 akan seperti ini. Begitu juga dengan saya gan...
-
Untuk yang berminat untuk download, langsung saja saya jelaskan, ada apa aja sih Game dan Aplikasi yang tersedia ? Yuk kita kupas tuntas.....
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar anda.